014.pdf

Fraud dan Whistleblowing: Pengungkapan Kecurangan Akuntansi oleh

Auditor Pemerintah

NI WAYAN RUSTIARINI

NI MADE SUNARSIH

Universitas Mahasaraswati Denpasar

Abstract: The various cases of corruption in Indonesia have forced the government to make

prevention strategies, one of is whistleblower systems. Whistleblower systems considered the

most effective to expose fraud than other methods such as internal audit or external audit.

This study aimed to analyze the influence of the factors contained in Theory of Planned

Behavior are the attitude toward the behavior, subjective norms, and perceived behavioral

control on whistleblowing intention and behavior. The respondens for this study are

government auditors who work in BPK and BPKP in Bali. Structural Equation Model (SEM)

analysis used to examine the hypotheses. The results showed that perceived behavioral

control have significant effect on whistleblowing intention, whistleblowing intention have

significant effect on whistleblowing behavior, and perceived behavioral control have

significant directly effect on whistleblowing behavior. However, attitudes toward behavior

and subjective norm does not affect on whistleblowing intention.

Keywords: auditor, fraud, corruption, whistleblowing

1. Pendahuluan

Adanya pemberitaan berbagai kasus korupsi di Indonesia merupakan permasalahan besar bagi

Indonesia. Apabila diukur berdasarkan tingkat korupsi dalam Corruption Perception Index untuk

tahun 2014, Indonesia menempati posisi 107 dari 175 negara, yaitu naik 2 poin dan 7 peringkat dari

tahun 2013. Skor Indonesia berada pada peringkat kelima di Asia Tenggara setelah Singapura,

Malaysia, Filipina, dan Thailand (Transparancy International, 2015). Meskipun demikian, skor

tersebut patut diapresiasi sebagai hasil kerja bersama pemerintah, masyarakat, dan pelaku bisnis untuk

mencegah dan memberantas korupsi. Adanya kepedulian masyarakat untuk melakukan

whistleblowing juga sangat efektif untuk mengungkapkan korupsi maupun kecurangan yang terjadi.

Whistleblowing merupakan kegiatan pengungkapan informasi oleh seseorang dalam organisasi

kepada pihak-pihak tertentu akibat adanya pelanggaran atau kejahatan (Miceli et al., 2008). Seseorang

 Alamat korespondensi: [email protected]

yang memberitahukan kepada publik atau pejabat yang berkuasa tentang dugaan ketidakjujuran,

kegiatan ilegal atau kesalahan yang terjadi di pemerintahan, organisasi publik, atau swasta disebut

whistleblower (Susmanschi, 2012). Keberadaan whistleblower memegang peranan penting untuk

mengungkapkan skandal keuangan di perusahaan. Penelitian yang dilakukan Dyck et al. (2010) pada

216 kasus kecurangan menunjukkan sebesar 17% karyawan mengungkapkan kecurangan, sedangkan

auditor eksternal hanya sebesar 10%. Studi atas kasus kecurangan perusahaan di Amerika Serikat

menunjukkan bahwa informasi untuk mengungkapkan kasus berasal dari pegawai (19,2%), melebihi

peran media dan regulator (16%), serta auditor (14,1%) (Widayati, 2012). Pengaduan dari

whistleblower terbukti lebih efektif untuk mengungkap kecurangan dibandingkan metode lain seperti

audit internal ataupun audit eksternal (Sweeney, 2008).

Mengingat sistem whistleblowing cukup efektif untuk mendeteksi kecurangan, saat ini hampir

sebagian besar instansi pemerintah seperti Kementerian Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi,

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Badan Perencanaan dan Pembangunan

Nasional, Ombudsman, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian

Nasional, Komisi Kejaksaan, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan

Pemeriksa Keuangan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan memiliki sistem

penanganan pengaduan untuk mengurangi fenomena korupsi di lembaga publik. Sistem

whistleblowing yang efektif, transparan, dan bertanggungjawab akan mendorong dan meningkatkan

partisipasi karyawan untuk melaporkan dugaan kecurangan yang diketahuinya. Meskipun demikian,

sampai saat ini belum banyak terlihat bagaimana peran sistem pelaporan dan perlindungan bagi

whistleblower dapat mendorong munculnya whistleblower pada sektor pemerintah.

Menjadi seorang whistleblower bukanlah suatu perkara yang mudah. Seseorang yang berasal dari

internal organisasi akan menghadapi dilema etis untuk memutuskan apakah harus “meniup peluit”

atau membiarkannya tetap tersembunyi. Sebagian memandang whistleblower sebagai pengkhianat

yang melanggar norma loyalitas organisasi, sebagian lainnya memandang whistleblower sebagai

pelindung heroik terhadap nilai-nilai kebenaran, bukan hanya loyalitas kepada organisasi (Rothschild

dan Miethe, 1999). Pandangan yang bertentangan tersebut menyebabkan calon whistleblower

mengalami dilema dalam menentukan sikap yang dapat mendistorsi minat whistleblowing. Oleh

karena itu penelitian ini hendak mengaplikasikan konsep Theory of Planned Behavior yang

menjelaskan bahwa perilaku yang dilakukan individu timbul karena adanya niat yang melandasi

perilaku tersebut, yang terbentuk oleh tiga faktor utama yaitu sikap terhadap perilaku, norma

subyektif, dan persepsi kontrol atas perilaku. Ketiga faktor tersebut perlu diuji kembali dalam

lingkungan yang berbeda, khususnya di Indonesia yang memiliki masyarakat dengan budaya kolektif,

yaitu kehidupan sosial menjadi lebih dominan dalam keseharian dibandingkan dengan kehidupan

pribadi. Whistleblower system akan menjadi lebih sulit diterapkan di Indonesia pada kondisi budaya

seperti itu.

Beberapa penelitian sebelumnya telah mengaplikasikan teori ini dalam berbagai konteks seperti

kepatuhan pajak (Bobek dan Hatfield, 2003; Hidayat dan Nugroho, 2010), perilaku akuntan publik

(Buchan, 2005), keputusan etis manajer (Carpenter dan Reimers, 2005), perilaku whistleblowing oleh

chief financial officer (Uddin dan Gillett, 2002), niat whistleblowing pada mahasiswa bisnis

(Montesarchio, 2009), serta dalam pembuatan anggaran (Su dan Ni, 2013). Meskipun demikian,

penelusuran pada sejumlah publikasi ilmiah menunjukkan bahwa penelitian ini masih jarang

dilakukan pada perilaku auditor pemerintah. Auditor pemerintah adalah auditor pada instansi

pemerintahan yang bertugas melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan berbagai unit

organisasi sektor publik. Apabila auditor memiliki niat yang tinggi untuk mengungkapkan kecurangan

yang terjadi, dan diaktualisasikan pada tindakan whistleblowing. maka hal tersebut diharapkan dapat

mengurangi peluang terjadinya korupsi pada instansi pemerintah. Dengan demikian, topik penelitian

ini penting dan menarik untuk diteliti kembali secara lebih mendalam dalam upaya untuk mencegah

praktik penyimpangan dan kecurangan pada lembaga publik.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis

pengaruh sikap terhadap perilaku (attitude towards the behavior), norma subyektif (subjective norm),

dan persepsi kontrol atas perilaku (perceived behavioral control) pada niat dan perilaku untuk

melakukan whistleblowing. Penting untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi niat pegawai

untuk melakukan tindakan whistleblowing agar organisasi dapat merancang kebijakan dan sistem

whistleblowing yang efektif. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi regulator dan

lembaga profesi untuk menetapkan regulasi terkait tindakan whistleblowing, serta menetapkan sistem

penanganan pengaduan yang implementatif untuk mengurangi kemungkinan terjadinya korupsi.

2. Kerangka Teoritis Dan Pengembangan Hipotesis

2.1 Prosocial Organizational Behavior Theory

Brief dan Motowidlo (1986) mendefinisikan prosocial organizational behavior sebagai

perilaku/tindakan yang dilakukan oleh anggota sebuah organisasi terhadap individu, kelompok, atau

organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, atau organisasi

tersebut. Perilaku prososial (prosocial behavior) juga diartikan sebagai setiap perilaku sosial positif

yang bertujuan untuk menguntungkan atau memberikan manfaat pada orang lain (Penner et al., 2005).

Perilaku prososial dapat dilatarbelakangi motif kepedulian pada diri sendiri dan mungkin pula

merupakan perbuatan menolong yang dilakukan murni tanpa adanya keinginan untuk mengambil

keuntungan atau meminta balasan.

Prosocial behavior menjadi teori yang mendukung terjadinya whistleblowing. Brief dan

Motowidlo (1986) menyebutkan whistleblowing sebagai salah satu dari 13 bentuk prosocial

organizational behavior. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Dozier dan Miceli (1985) yang

menyatakan bahwa tindakan whistleblowing dapat dipandang sebagai perilaku prososial karena

perilaku tersebut memberikan manfaat bagi orang lain (atau organisasi) disamping juga bermanfaat

bagi whistleblower itu sendiri. Perilaku prososial dapat digunakan untuk menjelaskan pembuatan

keputusan etis individual yang terkait dengan niat melakukan whistleblowing. Miceli dan Near (1988)

mengemukakan bahwa whistleblower melakukan pelaporan dugaan pelanggaran dalam upaya

membantu korban dan memberikan manfaat bagi organisasi karena mereka yakin bahwa perbuatan

pelanggaran tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh organisasi. Pada prinsipnya

seorang whistleblower merupakan ‘prosocial behaviour’ yang menekankan untuk membantu pihak

lain dalam menyehatkan sebuah organisasi atau perusahaan.

2.2 Theory of Planned Behavior

Theory of Planned Behavior merupakan pengembangan Theory of Reasoned Action, dengan

menambahkan konstruk yang belum ada dalam Theory of Reasoned Action yaitu persepsi kontrol atas

perilaku. Seseorang dapat bertindak berdasarkan niat hanya jika seseorang memiliki kontrol terhadap

perilakunya (Ajzen, 1991). Konstruk ini ditambahkan untuk memahami keterbatasan yang dimiliki

individu dalam melakukan perilaku tertentu. Dengan kata lain, niat seseorang untuk melakukan suatu

perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan norma subjektif, tetapi juga persepsi individu terhadap

kontrol perilaku dengan bersumber pada keyakinan terhadap kontrol tersebut.

Theory of Planned Behavior menjelaskan bahwa perilaku yang dilakukan oleh individu timbul

karena adanya niat untuk berperilaku. Berdasarkan teori ini dapat diketahui bahwa niat terbentuk dari

attitude toward behavior, subjective norms, dan perceived behavioral control yang dimiliki individu.

Sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior) merupakan evaluasi individu secara positif atau

negatif terhadap benda, orang, institusi, kejadian, perilaku atau niat tertentu (Ajzen, 2005). Sikap

individu terhadap suatu perilaku diperoleh dari keyakinan terhadap konsekuensi yang ditimbulkan

perilaku tersebut. Apabila seseorang melakukan perilaku yang menghasilkan outcome positif, maka

individu tersebut memiliki sikap positif, begitu juga sebaliknya.

Norma subjektif (subjective norm) merupakan faktor diluar individu yang menunjukkan persepsi

seseorang tentang perilaku yang dilaksanakan. Subjective norms tidak hanya ditentukan referent,

tetapi juga motivation to comply. Apabila individu yakin bahwa referent menyetujui dirinya

melaksanakan suatu perilaku dan termotivasi mengikuti suatu perilaku, maka individu tersebut akan

merasakan adanya tekanan sosial untuk melakukannya, begitu juga sebaliknya (Ajzen, 2005). Persepsi

kemampuan mengontrol perilaku (perceived behavioral control/PBC), adalah persepsi atau

kemampuan diri individu mengenai kontrol individu tersebut atas suatu perilaku. PBC ditentukan oleh

pengalaman masa lalu individu atau dipengaruhi pengalaman dari orang lain. Individu akan

melakukan suatu perilaku jika telah mengevaluasi perilaku tersebut secara positif, adanya tekanan

sosial untuk melakukan perilaku, serta individu percaya dan memiliki kesempatan untuk melakukan

suatu perilaku (Ajzen, 2005).

Niat untuk melakukan perilaku (intention), merupakan komponen diri individu yang mengacu

pada keinginan untuk melakukan perilaku tertentu. Tingkah laku tidak hanya bergantung pada intensi

seseorang, melainkan juga faktor lain seperti ketersediaan sumber dan kesempatan untuk

menunjukkan tingkah laku tersebut (Ajzen, 2005). Niat terbentuk dari attitude toward behavior,

subjective norms, dan perceived behavioral control yang dimiliki individu terhadap suatu perilaku.

Perilaku (behavior), merupakan tindakan nyata yang dilakukan seseorang berdasarkan niat yang ada

(Jogiyanto, 2007). Secara umum, teori ini menyatakan bahwa semakin besar dukungan sikap dan

norma subyektif berhubungan dengan perilaku, maka semakin kuat intensi seseorang untuk

melakukan perilaku. Semakin besar persepsi kontrol perilaku yang dirasakan, maka semakin kuat

intensi seseorang untuk melakukan perilaku yang dipertimbangkan (Ajzen, 1991 dalam Respati,

2010).

2.3 Kecurangan (Fraud)

SAS No.99 mendefinisikan kecurangan sebagai tindakan kesengajaan untuk menghasilkan salah

saji material dalam laporan keuangan. Tuanakotta (2010) menjelaskan bahwa kecurangan pelaporan

keuangan adalah suatu kesengajaan atau kecerobohan dalam melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu yang seharusnya dilakukan, yang menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan

secara material.

PricewaterhouseCoopers (PWC, 2009) melaporkan bahwa sebesar 30% responden dari survei

yang dilakukan menyatakan pernah mengalami kecurangan dalam 12 bulan terakhir. Dari tiga jenis

kecurangan yang terjadi seperti kecurangan akuntansi, suap dan korupsi, serta penyelewengan aset,

jenis kecurangan yang banyak terjadi adalah kecurangan akuntansi yang mengalami peningkatan

hampir empat kali lipat. KPMG (2009) juga melaporkan bahwa 65% dari eksekutif yang disurvei

menyebutkan bahwa kecurangan merupakan risiko yang sering terjadi pada perusahaan mereka.

Meskipun kasus kecurangan sering terjadi, namun seringkali auditor internal maupun eksternal tidak

mampu mengungkapkan kecurangan tersebut. Hasil survei Association of Certified Fraud Examiners

(ACFE, 2010) menunjukkan bahwa internal audit hanya mampu mendeteksi kecurangan sebanyak

13,7% kasus, sedangkan auditor eksternal hanya mampu mendeteksi 4,2% dari total kasus kecurangan

yang dilaporkan. Mengingat sulitnya untuk mengungkapkan kecurangan yang terjadi, maka perilaku

whistleblowing dianggap merupakan metode yang paling efektif untuk melaporkan kecurangan yang

terjadi.

2.4 Whistleblowing

Whistleblowing merupakan pengungkapan informasi oleh anggota organisasi (atau mantan) yang

dipandang sebagai praktik ilegal, tidak bermoral, atau tidak sah dibawah kendala karyawan kepada

orang-orang atau organisasi yang mungkin dapat mempengaruhi tindakan (Miceli et al., 2008).

Pentingnya keberadaan whistleblowing dalam mengungkapkan kecurangan atau skandal keuangan

telah banyak terbukti di awal dekade abad kedua puluh satu (Dyck et al., 2010). Efektifitas

whistleblowing dalam mengungkapkan kecurangan laporan keuangan tidak hanya diakui oleh akuntan

dan regulator di Amerika Serikat, namun juga di negara-negara lain (Patel, 2003; Miceli et al., 2008).

Adanya globalisasi perdagangan perusahaan sekuritas di bursa nasional juga telah memotivasi

legislatif di berbagai negara untuk mengadopsi undang-undang yang dirancang untuk meningkatkan

dan melindungi keberadaan whistleblowing (Lewis, 2008; Miceli et al., 2008; Schmidt, 2009).

Mengingat pentingnya peran whistleblowing dalam mengungkapkan kecurangan keuangan, maka

pemahaman atas faktor-faktor yang mendasari niat untuk melaporkan kecurangan atau

penyalahgunaan aset merupakan topik yang sangat penting (KPMG Forensik, 2008; Bame-Aldred et

al., 2007).

Keruntuhan Enron dan Arthur Andersen merupakan suatu fenomena yang dibebabkan perilaku

whistleblowing. Spreitzer dan Sonenshein (2004) menyatakan bahwa ketika karyawan menyadari

adanya praktek ilegal dalam organisasi dan berani mengungkapkan hal ini kepada pihak berwenang,

maka whistleblowing dianggap sebagai tindakan penyimpangan positif karena dilakukan dengan

sengaja, dan berani keluar dari norma organisasi. Dalam literatur whistleblowing, terdapat perdebatan

kontrovesi mengenai faktor-faktor yang memotivasi individu untuk melakukan whistleblowing.

Beberapa orang mungkin melihat whistleblower sebagai pemberani atau terhormat sementara yang

lain menganggap whistleblowing sebagai perilaku tidak etis terhadap organisasi mereka (Gundlach et

al., 2003). Meskipun demikian, beberapa pihak menyatakan tindakan whistleblowing sebagai perilaku

menyimpang yang menguntungkan organisasi dan masyarakat (Appelbaum et al., 2007).

Istilah whistleblowing di Indonesia diidentikkan dengan perilaku seseorang yang melaporkan

perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi di organisasi tempat bekerja sehingga memiliki

akses informasi memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut. Sebenarnya

whistleblowing tidak hanya melaporkan masalah korupsi, tetapi juga skandal lain yang melanggar

hukum dan menimbulkan kerugian/ancaman bagi masyarakat. Kasus whistleblowing yang popular di

Indonesia adalah ketika maraknya pemberitaan yang menimpa Kepolisian RI terkait skandal makelar

kasus. Selain itu juga penyampaian informasi suap dalam pemilihan Deputi Senior BI yang dilakukan

oleh anggota dewan perwakilan rakyat. Peran kedua whistleblower tersebut sangat besar untuk

melindungi negara dari kerugian yang lebih parah dan pelanggaran hukum yang terjadi.

2.5 Pengaruh Sikap terhadap Perilaku (Attitude towards the Behavior) pada Niat (Intention) untuk

Melakukan Whistleblowing

Sikap terhadap perilaku merupakan sikap individu secara positif atau negatif terhadap benda,

orang, institusi, kejadian, perilaku atau niat tertentu. Sikap individu terhadap suatu perilaku diperoleh

dari keyakinan terhadap konsekuensi yang ditimbulkan oleh perilaku tersebut. Seseorang yang yakin

bahwa sebuah tingkah laku dapat menghasilkan outcome yang positif, maka individu tersebut akan

memiliki sikap yang positif, begitu juga sebaliknya. Carpenter dan Reimers (2005) menunjukkan

bahwa seseorang cenderung melakukan whistleblowing jika mengetahui bahwa konsekuensi dari

perilaku tersebut adalah dihargai. Sebaliknya, jika seseorang merasa bahwa perilaku tersebut

berakibat hukuman maka sikap terhadap perilaku whistleblowing akan negatif.

Penelitian Park dan Blenkinsopp (2009) pada perilaku whistleblowing di Korea menyatakan

bahwa theory of planned behavior mengasumsikan adanya keyakinan whistleblowing akan

membentuk sikap terhadap perilaku. Hasil penelitian Uddin dan Gillet (2002; 2005) serta Carpenter

dan Reimers (2005) menunjukkan bukti bahwa sikap terhadap perilaku berpengaruh positif terhadap

intensi manajer untuk melakukan kecurangan. Selain itu, hasil penelitian Hays (2013) menyatakan

bahwa sikap terhadap perilaku memiliki pengaruh kuat pada niat akuntan manajemen untuk

melaporkan aktivitas kecurangan. Dengan demikian dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1. Sikap terhadap perilaku berpengaruh pada niat untuk melakukan whistleblowing

2.6 Pengaruh Norma Subyektif (Subjective Norm) pada Niat (Intention) untuk Melakukan

Whistleblowing

Norma subjektif merupakan faktor diluar individu yang menunjukkan persepsi seseorang

tentang perilaku yang dilaksanakan. Ajzen (1991) mendefinisikan norma subyektif sebagai tekanan

yang dirasakan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku. Bobek dan Hatfield (2003)

menyatakan bahwa norma subyektif mengacu pada keyakinan seseorang bahwa individu/kelompok

tertentu akan menyetujui atau menolak suatu perilaku yang dilakukan seseorang. Norma subyektif

dapat membawa pengaruh yang kuat pada tujuan perilaku dari orang-orang yang peka terhadap

pendapat orang lain yang sangat dihargai (Kreitner dan Kinicki, 2005). Hasil penelitian Uddin dan

Gillet (2005) menunjukkan bahwa norma subyektif berpengaruh negatif pada intensi manajer dalam

melakukan kecurangan, namun penelitian Carpenter dan Reimers (2005) menemukan bukti empiris

bahwa norma-norma subyektif berpengaruh positif terhadap intensi manajer dalam melakukan

kecurangan. Hasil yang mendukung dikemukakan oleh Hays (2013) menyatakan bahwa norma

subyektif memiliki hubungan yang kuat dengan niat untuk melakukan whistleblowing. Dengan

demikian dirumuskan hipotesis berikut:

H2. Norma subyektif berpengaruh pada niat untuk melakukan whistleblowing

2.7 Pengaruh Persepsi Kontrol atas Perilaku (Perceived Behavioral Control) pada Niat untuk

Melakukan Whistleblowing

Perceived Behavior Control merupakan persepsi individu mengenai kontrol yang dimiliki

individu tersebut sehubungan dengan tingkah laku tertentu. Perceived Behavior Control merupakan

keyakinan tentang ada atau tidaknya faktor-faktor yang memfasilitasi dan menghalangi individu

melakukan suatu tindakan (Bobek dan Hatfield, 2003). Hasil penelitian Hays (2013) menyatakan

bahwa persepsi kontrol atas perilaku memiliki hubungan kuat dengan niat untuk melakukan

whistleblowing. Meskipun demikian hasil penelitian tersebut tidak mendukung penelitian Carpenter

dan Reimers (2005) yang menunjukkan bahwa kendali perilaku persepsian (perceived behavior

control) tidak berpengaruh pada intensi manajer untuk melakukan kecurangan dalam penyajian

laporan keuangan. Mengacu pada teori yang digunakan, maka dirumuskan hipotesis berikut:

H3. Persepsi kontrol atas perilaku berpengaruh pada niat untuk whistleblowing

2.8 Pengaruh Niat (Intention) untuk Melakukan Whistleblowing pada Perilaku Whistleblowing

Tujuan utama theory of planned behavior adalah untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku

individu (Ajzen, 1985). Menurut teori ini, yang menentukan individu untuk melakukan suatu perilaku

adalah niat untuk melakukan (atau tidak melakukan). Mengingat perilaku whistleblowing jarang

dilakukan, seringkali peneliti hanya meneliti motivasi whistleblower, daripada perilaku aktual

whistleblower (Mesmer-Magnus dan Viswesvaran 2005; Patel, 2003). Menurut Ajzen (2001), niat

berperan penting dalam menentukan tindakan manusia. Semakin kuat niat untuk melakukan perilaku,

maka besar kemungkinan niat tersebut diaktualisasikan dalam bentuk perilaku. Berdasarkan uraian

teori dan hasil penelitian yang mendukung, dirumuskan hipotesis berikut:

H4. Niat (intention) untuk melakukan whistleblowing berpengaruh pada perilaku untuk melakukan

whistleblowing

2.9 Pengaruh Persepsi Kontrol atas Perilaku (Perceived Behavioral Control) pada Perilaku

Whistleblowing

Theory of Planned Behavior merupakan pengembangan dari Theory of Reasoned Action, dengan

menambahkan konstruk persepsi kontrol atas perilaku. Konstruk ini ditambahkan untuk menegaskan

bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan norma

subjektif, tetapi juga persepsi individu terhadap kontrol perilaku. Persepsi kemampuan mengontrol

perilaku adalah persepsi atau kemampuan diri individu mengenai untuk mengontrol suatu perilaku,

salah satunya perilaku whistleblowing. Hasil penelitian Chang (1998) menunjukkan bahwa persepsi

kontrol atas perilaku merupakan prediktor kuat dari perilaku seseorang. Berdasarkan tersebut, maka

dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H5. Persepsi kontrol atas perilaku berpengaruh pada perilaku whistleblowing

Theory of Planned Behavior menyediakan kerangka berpikir yang sistematis sehingga

mempermudah peneliti memahami faktor-faktor yang mempengaruhi niat dan perilaku untuk

melakukan whistleblowing, ditunjukkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Kerangka Penelitian

Sumber: hasil pemikiran peneliti (2014)

3. Metode Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh auditor yang bekerja pada kantor Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk wilayah

Propinsi Bali. Kedua instansi pemerintah tersebut telah menerapkan sistem pelaporan pelanggaran

(whistleblower system). Para auditor BPK dan BPKP merupakan bagian dari aparatur negara yang

diharapkan dapat mencegah dan mengungkapkan perilaku ilegal, tidak bermoral, dan tidak etis yang

terjadi dalam lingkup pemerintah dalam upaya memperkuat penerapan praktik good governance.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dengan

menyebarkan kuisioner kepada auditor yang bekerja pada kedua instansi tersebut. Teknik

pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh yaitu metode

pengambilan sampel yang mengambil semua anggota populasi untuk dijadikan sampel penelitian.

Metode ini digunakan karena jumlah populasi auditor untuk masing-masing instansi kurang dari 100

orang.

Definisi operasional dan pengukuran variabel penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior) merupakan evaluasi individu secara positif

atau negatif terhadap benda, orang, institusi, kejadian, perilaku atau niat tertentu. Variabel ini diukur

menggunakan 5 item pernyataan yang diadopsi dari penelitian Hays (2013) dengan menggunakan

skala Likert 7 poin.

Attitude

Subjective Norm

Perceived Behavior

Control

Whistleblowing

Intention

Whistleblowing Behavior

H1

H2

H3

H4

H5

b. Norma subjektif (subjective norm) merupakan faktor diluar individu yang menunjukkan persepsi

seseorang tentang perilaku yang dilaksanakan. Variabel ini diukur menggunakan 4 item pernyataan

yang diadopsi dari penelitian Hays (2013) dengan menggunakan skala Likert 7 poin.

c. Persepsi kemampuan mengontrol perilaku (perceived behavioral control/PBC) adalah persepsi

atau kemampuan diri individu mengenai kontrol individu tersebut atas suatu perilaku. Variabel ini

diukur menggunakan 4 item pernyataan yang diadopsi dari penelitian Hays (2013) dengan

menggunakan skala Likert 7 poin.

d. Niat untuk melakukan perilaku (intention), merupakan komponen diri individu yang mengacu

pada keinginan untuk melakukan perilaku tertentu. Variabel ini diukur menggunakan 6 item

pernyataan yang diadopsi dari penelitian Hays (2013) dengan menggunakan skala Likert 7 poin.

e. Perilaku (behavior), merupakan tindakan nyata yang dilakukan seseorang berdasarkan niat yang

ada. Variabel ini diukur menggunakan 3 item pernyataan yang diadopsi dari penelitian Hays (2013)

dengan menggunakan skala Likert 7 poin.

Sesuai dengan model multidimensi dan berjenjang yang sedang dikembangkan dalam penelitian

ini maka alat analisis data yang digunakan adalah Structural Equation Model (SEM) dari paket

statistik AMOS versi 16. Penggunaan SEM memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antara

variabel yang kompleks untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai keseluruhan model

(Ghozali, 2011).

4. Hasil Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei yaitu setiap instansi didatangi secara langsung dan

diberikan kuisioner sesuai dengan jumlah auditor yang ada pada masing-masing instansi. Setiap

auditor diberikan waktu untuk mengisi kuisioner paling lambat 40 hari dari tanggal pemberian

kuisioner tersebut. Kuisioner yang disebarkan sebanyak 140 kuisioner dan kuisioner yang kembali

sebanyak 125 kuisioner, berarti tingkat pengembalian responden (response rate) sebesar 89,29%,

serta semua kuisioner yang kembali terisi secara lengkap sehingga jumlah kuisioner yang dapat diolah

lebih lanjut dalam penelitian ini adalah 125 kuisioner atau sebesar 100%. Adapun rincian jumlah

sampel dan tingkat pengembaliannya disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Rincian Jumlah Sampel dan Tingkat Pengembalian

Aktivitas Jumlah

Jumlah kuisioner yang disebar

Kuisioner yang tidak kembali

Kuisioner yang dikembalikan

Tingkat pengembalian (125/140) x 100%

Kuisioner yang tidak lengkap

Jumlah kuisioner yang dapat diolah

140

15

125

89,29%

125

Sumber: Data primer (diolah)

Profil auditor dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, pendidikan, dan

masa kerja auditor. Auditor pria yang berpartisipasi sebagai responden sebesar 56,80%, sedangkan

wanita sebesar 43,20%. Sebagian besar responden berlatarbelakang pendidikan S1 yaitu sebanyak

70,40%, berpendidikan S2 sebanyak 4,00%, dan D3 sebesar 25,60%. Berdasarkan masa kerja

responden, sebesar 36,00% responden memiliki masa kerja <5 tahun, sebesar 40,80% memiliki masa

kerja 5-10 tahun, dan sebesar 23,20% memiliki masa kerja > 10 tahun.

Hasil pengujian validitas dan reliabilitas instrumen menunjukkan bahwa instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini adalah valid dan reliabel, yang ditunjukkan dengan nilai koefisien

korelasi item-total variabel lebih besar dari 0,3 dan signifikansi lebih kecil dari 0,05. Hasil uji

reliabilitas menunjukkan nilai cronbach alpha untuk semua variabel yang digunakan dalam penelitian

ini lebih besar dari 0,70. Hasil pengujian validitas dan reliabilitas ditunjukkan pada Tabel 4.2 sebagai

berikut.

Tabel 4.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

Variabel Korelasi Korelasi Item-

Total Variabel Cronbach Alpha

Attitude 0,650-0,890 0,835

Subjective Norm

Perceived Behavior Control

Whistleblowing Intention

Whistleblowing Behavior

0,654-0,829

0,804-0,906

0,700-0,920

0,904-0,940

0,740

0,862

0,903

0,906

Tabel 4.3. Statistik Deskriptif Variabel Penelitian Variabel N Minimum Maksimum Mean SD

Attitude 125 2,60 7,00 5,12 5,23

Subjective Norm 125 2,75 7,00 5,18 4,43

Perceived Behavior Control 125 2,75 7,00 5,17 4,59

Whistleblowing Intention 125 2,33 7,00 5,20 6,48

Whistleblowing Behavior 125 2,33 7,00 5,37 3,33

Tabel 4.3 menunjukkan gambaran mengenai variabel-variabel penelitian, hasil jawaban

responden penelitian dan interpretasi atas jawaban umum yang diberikan responden. Tabel tersebut

menyajikan gambaran mengenai variabel-variabel penelitian disajikan dalam tabel statistik deskriptif.

Pada tabel tersebut disajikan nilai terendah, nilai tertinggi, nilai rata-rata, dan simpangan baku dari

jawaban responden.

Tabel 4.4 berikut menunjukkan hasil pengujian pengaruh sikap terhadap perilaku (attitude

towards the behavior), norma subyektif (subjective norm), dan persepsi kontrol atas perilaku

(perceived behavioral control) pada niat melakukan whistleblowing (whistleblowing intention) dan

melakukan whistleblowing (whistleblowing behavior).

Tabel 4.4. Hasil Uji Hipotesis

Variabel Std Est S.E C.R P Ket

WI <--- Attitude 0.066 0.087 0.759 0.448 Ditolak

WI <--- Subjective Norm 0.152 0.171 0.887 0.375 Ditolak

WI <--- PBC 0.489 0.135 3.618 0.000 Diterima

WB <--- WI 0.973 0.165 5.889 0.000 Diterima

WB <--- PBC

Kriteria Uji Kelayakan Model

Probability (P > 0.05)

Chi-Square (Nilai yang kecil)

GFI (GFI ≥ 0.90)

CFI (CFI ≥ 0.90)

RMSEA (RMSEA ≤ 0.08)

AGFI (AGFI ≥ 0,9)

0.239

Nilai

0.111

225.828

0.860

0.985

0.032

0.824

0.104

Ket

Baik

Baik

Marginal

Baik

Baik

Marginal

2.285 0.022 Diterima

Hasil pengujian hipotesis pertama nilai probabilitas sebesar 0.448 lebih besar dari tingkat

signifikansi sebesar 0.05 yang berarti bahwa tidak menerima hipotesis pertama. Sikap untuk

dilakukannya suatu perilaku tertentu berhubungan dengan keyakinan untuk melakukan perilaku yang

akan mendorong ke arah konsekuensi dan penilaiannya terhadap konsekuensi tersebut (Ajzen dan

Fishbein, 1975). Secara umum teori menyatakan bahwa seorang individu akan memiliki sikap positif

terhadap perilaku apabila berhubungan dengan tujuan yang positif. Fenomena whistleblowing sendiri

di Indonesia belum banyak dilakukan, apalagi pada lembaga publik. Hal ini dikarenakan mekanisme

pelaporan dan perlindungan terhadap pelapor atau whistleblower belum sepenuhnya diatur dengan

jelas dan tegas dengan produk perundang-undangan. Aturan main atau ketentuan sistem pelaporan

juga belum memiliki ketegasan. Tidak adanya kepastian pelindungan hukum bagi whistleblower dan

keluarganya menjadi dilema tersendiri karyawan merasa tidak perlu untuk mengungkapkan skandal

kecurangan yang diketahuinya. Dengan demikian, sikap positif karyawan untuk mengungkapkan

kecurangan tidak akan mampu menumbuhkan niat (intensi) karyawan untuk melakukan

whistleblowing. Hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Uddin dan Gillet (2002; 2005), Carpenter dan Reimers (2005), dan Hays (2013) yang

menyatakan bahwa sikap terhadap perilaku berpengaruh positif terhadap intensi manajer untuk

melakukan kecurangan, serta niat akuntan manajemen untuk melaporkan aktivitas kecurangan.

Hasil pengujian bukti empiris untuk hipotesis kedua memiliki nilai probabilitas sebesar 0.375

lebih besar dari tingkat signifikansi sebesar 0.05 sehingga hasil pengujian ini tidak menerima

hipotesis kedua. Temuan ini tidak mendukung hasil penelitian Uddin dan Gillet (2005), Carpenter dan

Reimers (2005), serta Hays (2013) yang menyatakan bahwa norma subyektif memiliki hubungan yang

kuat dengan niat untuk melakukan whistleblowing. Meskipun beberapa lembaga publik di Indonesia

telah memiliki sistem penanganan pengaduan (whistleblower system), sistem ini belum sepenuhnya

berlaku secara efektif. Indonesia memiliki masyarakat dengan budaya kolektif, yaitu kehidupan sosial

menjadi lebih dominan dalam keseharian dibandingkan dengan kehidupan pribadi. Selain itu budaya

kerja berbasis kolegialisme dalam birokrasi telah menjadi acuan utama dalam setiap kerja pegawai di

instansi-instansi pemerintahan sehingga bila terjadi kesalahan atau manipulasi dalam birokrasi akan

jarang yang terekspose oleh media massa. Dengan demikian, adanya dukungan dari pimpinan, rekan

sejawat maupun bawahan tidak dapat menumbuhkan niat karyawan untuk melakukan whistleblowing.

Hipotesis ketiga menyatakan bahwa persepsi kontrol atas perilaku berpengaruh pada niat untuk

whistleblowing. Hasil pengujian menunjukkan bahwa hipotesis ketiga diterima karena memiliki nilai

probabilitas sebesar 0.000. Persepsi kontrol atas perilaku yang dirasakan berkenaan dengan perasaan

mudah atau sulit melakukan perilaku. Seorang karyawan akan melakukan tindakan whistleblowing

didasarkan pada sumber dan kesempatan yang dimiliki, serta seberapa besar kemampuan yang

dimiliki untuk menghadapi rintangan dan halangan tersebut. Semakin besar kendali perilaku yang

dirasakan maka semakin kuat intensi karyawan untuk melakukan whistleblowing. Hasil penelitian ini

mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hays (2013), namun tidak konsisten dengan

hasil penelitian Carpenter dan Reimers (2005) yang menunjukkan bahwa kendali perilaku persepsian

(perceived behavior control) tidak berpengaruh pada intensi manajer untuk melakukan kecurangan

dalam penyajian laporan keuangan.

Hasil pengujian atas variabel niat (intention) untuk melakukan whistleblowing pada perilaku

untuk melakukan whistleblowing memiliki nilai probabilitas sebesar 0,000 sehingga dapat dikatakan

menerima hipotesis keempat. Menurut teori ini, keputusan individu untuk melakukan suatu perilaku

ditentukan oleh niat untuk melakukan. Niat berperan penting dalam menentukan tindakan manusia.

Dengan demikian semakin kuat niat karyawan untuk melakukan perilaku whistleblowing maka besar

kemungkinan niat tersebut diaktualisasikan dalam bentuk perilaku.

Hasil pengujian atas hipotesis kelima memiliki nilai probabilitas sebesar 0.022 yang berarti

bahwa persepsi kontrol atas perilaku berpengaruh secara langsung pada perilaku whistleblowing.

Konstruk ini menegaskan bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku tidak hanya

ditentukan oleh sikap dan norma subjektif, tetapi juga persepsi individu terhadap kontrol perilaku.

Hasil penelitian Chang (1998) menunjukkan bahwa persepsi kontrol atas perilaku merupakan

prediktor kuat dari perilaku seseorang. Persepsi kemampuan mengontrol perilaku adalah persepsi atau

kemampuan diri individu mengenai untuk mengontrol suatu perilaku, salah satunya perilaku

whistleblowing. Dengan demikian apabila seorang karyawan memiliki persepsi kontrol atas perilaku

untuk melakukan whistleblowing yang kuat, hal tersebut tidak sekedar ditunjukkan melalui niat atau

intensi tetapi sudah dalam bentuk nyata yaitu perilaku untuk mengungkapkan kecurangan tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian ini mendukung hipotesis kelima.

5. Penutup

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, secara umum sikap terhadap perilaku (attitude

towards the behavior), norma subyektif (subjective norm), dan persepsi kontrol atas perilaku

(perceived behavioral control) mendukung teori yang ada. Meskipun variabel sikap terhadap perilaku

dan norma subyektif tidak berpengaruh pada niat (intensi) karyawan untuk melakukan

whistleblowing, namun variabel persepsi kontrol atas perilaku memberikan hasil yang mendukung

hipotesis yang telah dirumuskan. Hasil pengujian atas variabel niat (intention) untuk melakukan

whistleblowing pada perilaku whistleblowing mendukung teori yang ada. Selain itu, hasil pengujian

atas hipotesis kelima juga menunjukkan bahwa persepsi kontrol atas perilaku berpengaruh secara

langsung pada perilaku whistleblowing.

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti

regulator dan pengelola sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing systems) untuk

mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi niat dan perilaku auditor untuk melakukan

whistleblowing sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan sistem

pelaporan pelanggaran sebagai bagian dari sistem pengendalian internal dalam upaya mencegah

penyimpangan dan kecurangan, memperkuat praktik penerapan good governance, dan meningkatjan

jaminan perlindungan hukum bagi para whistleblower.

Penelitian yang dilakukan ini tidak dapat terlepas dari beberapa keterbatasan. Berikut merupakan

beberapa keterbatasan dan saran-saran yang dapat diberikan sebagai berikut:

a. Penelitian ini memiliki keterbatasan yang melekat dikarenakan penelitian ini menggunakan

data primer yang diperoleh melalui kuisioner, yaitu kemungkinan terjadi perbedaan persepsi antara

peneliti dan responden karena responden dan peneliti tidak dapat saling mengklarifikasi pertanyaan

atau pernyataan. Oleh karena itu penelitian tentunya menjadi lebih representatif apabila

mengkombinasikan dengan metode wawancara sehingga persepsi responden atas pertanyaan atau

pernyataan dapat diketahui secara mendalam.

b. Penelitian ini hanya menggunakan sampel auditor pemerintah yang bekerja pada dua instansi

sehingga hasil dan kesimpulan penelitian ini tidak dapat digeneralisasi untuk seluruh auditor

pemerintah di Indonesia. Penelitian selanjutnya diharapkan memperluas wilayah cakupan sampel

yang sehingga diperoleh hasil penelitian dengan tingkat generalisasi yang lebih tinggi.

c. Perilaku whistleblowing merupakan fenomena yang kompleks yang melibatkan berbagai

faktor. Penelitian ini hanya menggunakan faktor individual yang mempengaruhi niat dan perilaku

auditor untuk melakukan whistleblowing. Peneliti selanjutnya disarankan untuk mempertimbangkan

penggunaan faktor lain seperti organisasional, situasional, maupun demografis yang juga berperan

dalam pengungangkapan kecurangan pada lembaga publik.

Daftar Pustaka

Association of Certified Fraud Examiners. 2010. Report to the Nation. Retrieved from http://www.acfe.com/.

Appelbaum, S. H., Iaconi, G. D., dan Matousek, A. 2007. Positive and negative deviant workplace behaviors:

causes, impacts, and solutions. Corporate Governance, Vol. 7, No.5, pp. 586-599.

Ajzen, Icek. 1985. From intentions to actions: a theory of planned behavior’, in j. kuhland and j. beckman

(eds.), action-control: from cognitions to behavior (Springer, Heldeberg), pp. 11–39.

Ajzen, Icek. 1991. The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes.

Vol. 50, No. 2, pp. 179-211.

Ajzen, Icek. 2001. Nature and operation of attitude. Annual Review of Psychology. Vol. 52, pp. 27–58.

Ajzen, Icek. 2005. Laws of human behavior: symmetry, compatibility, and attitude behavior correspondence. in

a. Beauducel, B. Biehl, M. Bosniak, W. Conrad, G. Schonberger, & D. Wagener (Eds.), Multivariate

Research Strategies (pp. 3-19). Aachen, Germany: Shaker Verlag.

Ajzen Icek., dan Martin Fishbein. 1980. Understanding Attitudes and Predicting Social Behavior. Prentice-Hall,

NJ.

Bame-Aldred, C., Sweeney, J. T., dan Seifert, D. 2007. An examination of the effectiveness of Sarbanes-Oxley

whistleblower protection. Journal of Forensic Accounting. Vol. 8, pp. 105–118.

Bobek, Donna. D., dan Hatfield, Richard. C. 2003. An investigation of the theory of planned behavior and the

role of moral obligation in tax compliance. Behavioral Research in Accounting. Vol. 15, pp. 13-38.

Buchan, H. F. 2005. Ethical decision making in the public accounting profession: An extension of Ajzen's

theory of planned behavior. Journal of Business Ethics. Vol. 61, No. 2, pp. 165-181.

Brennan, N dan J. Kelly, 2007. A study ow whistle-blowing among trainee auditors. The British Accounting

Review. Vol. 39, No. 1, pp. 61-87.

Carpenter, Tina. D., dan Reimers, Jane. L. 2005. Unethical and fraudulent financial reporting: applying the

theory of planned behavior. Journal of Business Ethics. Vol. 60, No. 2, pp. 115-129.

Chang, M. K. 1998. Predicting unethical behavior: A comparison of the theory of reasoned action and the theory

of planned behavior. Journal of Business Ethics. Vol. 17, No. 16, pp. 1825-1834.

Dyck, Alexander, Morse, Adair, dan Zingales, Luigi. 2010. Who blows the whistle on corporate fraud?. The

Journal of Finance. 6 (December), pp. 2213–2253.

Fishbein, M., dan Ajzen, Icek. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior: an Introduction to Theory and

Research. Reading, MA: Addison-Wesley

Gundlach, M. J., Douglas, S. C., dan Martinko, M. J. 2003. The decision to blow the whistle: A social

information processing framework. Academy of Management. The Academy of Management Review.

Vol. 28, No. 1, pp. 107-123.

Ghozali, Imam. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Universitas Diponogoro

Hays, Jerry B. 2013. An Investigation of the motivation management accountants to report fraudulent

accounting activity: applying the theory of planned behavior. Dissertation. Nova Southeastern

University. www.proquest.com.

Hidayat, Widi dan Nugroho, Argo Adhi. 2010. Studi empiris theory of planned behavior dan pengaruh

kewajiban moral pada perilaku ketidakpatuhan pajak wajib pajak orang pribadi. Jurnal Akuntansi dan

Keuangan. Vol. 12, No. 2, pp 82-93.

Jogiyanto. 2007. Konsep dan Aplikasi Structural Equation Modeling Berbasis Varian dalam Penelitian Bisnis.

Yogyakarta:UPP STIM YKPN.

Kaplan, Steven, Pany, Kurt, Samuels, Janet, dan Zhang, Jian. 2009. An examination of the association between

gender and reporting intentions for fraudulent financial reporting. Journal of Business Ethics. Vo. 87,

No. 1, pp. 15–30.

KPMG. 2009. Fraud Survey 2009. Retrieved from http://www.kpmg.com/ZA/

en/IssuesAndInsights/ArticlesPublications/Risk-Compliance/Pages/Fraud-Survey-2009.aspx.

KPMG Forensic. 2008. Integrity Survey 2008–2009. New York, NY: KPMG LLP.

Lewis, D. 2008. Ten years of public interest disclosures in the U.K: Are whistleblowers adequately protected?

Journal of Business Ethics. Vol. 82, pp. 497–507.

Miceli, M. P., Near, J. P., dan Dworkin, T. M. 2008. Whistle-blowing in organizations. New York: Routledge.

Mesmer-Magnus, J. R., dan Viswesvaran, C. 2005. Whistleblowing in organizations: An examination of

correlates of whistleblowing intentions, actions, and retaliation. Journal of Business Ethics, Vol. 62, No.

3, pp. 277–297.

Montesarchio, Cathilee E. 2009. Faktor influencing the unethical behaviora; intention of college business

students: theory of planned behavior. Dissertation. Lynn University. www.proquest.com

Park, H., dan Blenkinsopp, J. 2009. Whistleblowing as planned behavior-A survey of South Korean police

officers. Journal of Business Ethics. Vol. 85, No. 4, pp. 545-556.

Patel, C. 2003. Some cross-cultural evidence on whistle-blowing as an internal control mechanism. Journal of

International Accounting Research. Vol. 2, pp. 69–96.

PricewaterhouseCoopers. 2009. Global Economic Crime Survey. Retrieved from

http://www.pwc.com/gx/en/economic-crime-survey.

Seifert, Deborah Lynn. 2006. The influence of organizational justice on the perceived likelihood of whistle

blowing. Dissertation. Washingston State University. www.proquest.com.

Seifert, D. L., Sweeney, J. T., Joireman, J., dan Thornton, J. M. 2010. The influence of organizational justice on

accountant whistleblowing. Accounting, Organizations and Society. Vol. 35, pp. 707–717.

Schmidt, M. 2009. ‘‘Whistle Blowing’’ regulation and accounting standards enforcement in Germany and

Europe—An economic perspective. International Review of Law and Economics. Vol. 25, pp. 143–168.

Spreitzer, G. M., dan Sonenshein, S. 2004. Toward the construct definition of positive deviance. The American

Behavioral Scientist. Vol. 47, No. 6, pp. 828-847.

Su, Chin-Chun dan Ni, Feng-Yu. 2013. Budgetary participation and slack on the theory of planned behavior.

International Journal of Organizational Innovation. Vol. 5, No. 4. pp 91-99.

Taylor, Eileen. Z., dan Curtis, Mary. B. 2010. An examination of the layers of workplace influences in ethical

judgements: Whistleblowing likelihood and perseverance in public accounting. Journal of Business

Ethics. Vol. 93, pp. 21–37.

Transparancy International, 2015. Corruption Perceptions Index 2015. www.transparency.org/cpi2015/results

diunduh tanggal 5 Juni 2015.

Tuanakotta, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat.

Uddin, Nancy, dan Gillett, Peter. R. 2002. The effects of moral reasoning and self-monitoring on CFO

intentions to report fraudulently on financial statements. Journal of Business Ethics. Vol. 40, No. (1), pp.

15-32.

Xu, Yin. dan Ziegenfuss, Douglas. E. 2008, Reward Systems, Moral Reasoning, and Internal Auditors’ Whistle-

Blowing Wrongdoing Behavior, Journal Bussiness Psychology. Vol 22, No. 4, pp. 323-331.

Zyglidopoulos, Stelios dan Fleming, Peter. 2008. Ethical distance in corrupt firms: How do innocent bystanders

become guilty perpetrators? Journal of Business Ethics. Vol. 78, pp. 265-274.

http://denpasar.bpk.go.id/

http://www.bpkp.go.id/

http://www.kompasiana.com

http://www.transparency.org/gcb2013

Lampiran 1

Gambar 1. Model Struktural Penelitian

Attitude.61

x1.4e4

.44

x1.3e3

.46

x1.2e2

.40

x1.1e1

PBC

.55

x3.4e13

.71

x3.3e12

.70

x3.2e11

.49

x3.1e10

.70

WI

.47

y1.1

e14

.39

y1.2

e15

.62

.80

y1.3

e16

UJI KETEPATAN MODEL

—————————–

Probability =.111

Chi Square =225.828

CMIN/DF =1.124

GFI =.860

TLI =.983

CFI =.985

RMSEA =.032

AGFI =.824

z1Subjective Norm

.69

x2.3e8

.64

x2.2e7

.44

x2.1e6

.90.68

.66

.68

.63

.78

.83

y1.4

e17

.91

.44

x2.4e9

.45

y1.5

e18

.67

.66

.83

.80

.67

.40

x1.5e5

.63

.55

y1.6

e19

.74

.16

.84

.83

.70

.74

.07

.65.90

WB

.86

y2.3

e22

.69

y2.2

e21

.62

y2.1

e20

.83.79 .93

.74

.24

z2

.63

.85

.54

Our customer support team is here to answer your questions. Ask us anything!